psikologi.umsida.ac.id – Di era digital yang serba cepat, anak-anak dan remaja kini lebih mudah mengakses informasi seputar kesehatan mental melalui media sosial. Fenomena ini memunculkan tren baru: anak mulai mendiagnosis dirinya sendiri mengalami gangguan psikologis seperti depresi, anxiety, atau ADHD tanpa pemahaman yang tepat. Mereka cenderung menyamakan emosi sehari-hari seperti sedih, cemas, atau lelah sebagai bentuk dari penyakit mental. Tren ini berkembang cepat dan dapat menimbulkan dampak psikologis jangka panjang jika tidak segera ditanggapi dengan pendekatan yang tepat oleh orang tua maupun sekolah.
Saat Anak Mulai Menyebut Dirinya “Depresi”
Penggunaan istilah psikologis oleh anak-anak sering kali terjadi secara berlebihan dan tidak berdasar. Misalnya, perasaan gagal dalam ujian dianggap sebagai depresi, atau rasa gugup sebelum tampil disebut sebagai gangguan kecemasan. Dalam banyak kasus, anak-anak sebenarnya hanya mengalami gejolak emosi biasa yang bersifat sementara. Namun, karena terpapar istilah-istilah medis yang disederhanakan di media sosial, mereka mulai percaya bahwa mereka mengalami gangguan mental. Kebiasaan ini tidak hanya membingungkan identitas emosional anak, tetapi juga berpotensi membuat mereka abai terhadap kondisi yang sebenarnya butuh perhatian serius.
Peran Media Sosial dalam Mempengaruhi Persepsi Anak
Media sosial menjadi salah satu kanal utama yang memengaruhi cara anak memahami kesehatan mental. Konten video singkat yang membahas gejala psikologis sering kali menampilkan daftar tanda-tanda secara general dan tidak spesifik. Ketika anak merasa cocok dengan beberapa tanda tersebut, mereka langsung mengaitkan diri dengan diagnosis tertentu. Ini diperparah oleh algoritma platform digital yang terus menampilkan konten serupa, sehingga memperkuat keyakinan anak akan diagnosa mandirinya. Tanpa bimbingan yang benar, anak mudah terjebak dalam persepsi yang keliru mengenai kondisi dirinya.
Tindakan Pencegahan dan Peran Orang Dewasa
Orang tua dan guru memiliki peran penting dalam membangun literasi emosional anak sejak dini. Edukasi tentang perbedaan antara emosi normal dan gangguan mental harus diberikan secara bertahap dan disesuaikan dengan usia. Anak perlu dibimbing untuk memahami bahwa merasa sedih, marah, atau kecewa adalah bagian wajar dari kehidupan. Komunikasi terbuka di rumah dan kegiatan yang mendukung kesehatan mental di sekolah juga sangat dibutuhkan. Dengan pendekatan yang tepat, anak tidak hanya belajar mengenali perasaannya dengan sehat, tapi juga terhindar dari kebiasaan mendiagnosa diri sendiri secara sembarangan.
Penulis: Mutafarida