Kematangan Emosi

Kematangan Emosi Tidak Selalu Tentukan Tingkat Kecemasan Ibu Muda dalam Persalinan Pertama

psikologi.umsida.ac.id — Hasil penelitian yang dilakukan oleh Effy Wardati Maryam SPsi MSi, dosen Program Studi Psikologi Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (Umsida), mengungkap temuan menarik terkait hubungan antara kematangan emosi dan tingkat kecemasan pada ibu muda yang menjalani persalinan pertama di usia 17–21 tahun.

Penelitian yang dilakukan di Kecamatan Candi, Kabupaten Sidoarjo ini menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan signifikan antara tingkat kematangan emosi dengan tingkat kecemasan ibu pada saat menghadapi persalinan pertama.

Hasil analisis statistik menggunakan uji korelasi product moment memperlihatkan nilai rxy = -0,167 dengan p = 0,257 (> 0,05), yang berarti hubungan antara dua variabel tersebut tidak signifikan.

Kecemasan Persalinan Tidak Hanya Dipengaruhi Emosi

Latar belakang riset ini berangkat dari tingginya angka kecemasan yang dialami ibu muda menjelang kelahiran anak pertama, terutama pada usia 17–21 tahun. Pada usia ini, wanita masih berada pada fase remaja akhir menuju dewasa muda, di mana stabilitas emosi dan kematangan psikologis belum sepenuhnya terbentuk.

“Proses persalinan sering dianggap menegangkan dan menakutkan bagi ibu muda karena merupakan pengalaman pertama yang belum pernah dialami,” tulis Effy dalam laporannya.

Dalam kondisi ini, muncul berbagai pertanyaan dan kekhawatiran seperti kemampuan menahan nyeri, kesiapan menghadapi proses kelahiran, hingga rasa takut tidak mampu menjadi ibu yang baik.

Namun, hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat kematangan emosi bukan satu-satunya faktor yang memengaruhi kecemasan menjelang persalinan pertama. Faktor-faktor eksternal seperti dukungan keluarga, kesiapan ekonomi, pengetahuan tentang kehamilan, religiusitas, serta bimbingan dari tenaga medis juga berperan penting dalam menurunkan tingkat kecemasan.

Berdasarkan wawancara terhadap 48 responden, ditemukan bahwa 17 persen ibu merasa cemas karena takut tidak bisa melahirkan normal, 15 persen menyebut dukungan keluarga sebagai faktor penentu ketenangan, dan 13 persen menyebut tingkat religiusitas membantu mengendalikan kecemasan.

Faktor-faktor lain seperti penyuluhan dokter, informasi media, hingga keikutsertaan dalam senam hamil juga turut berkontribusi terhadap kesiapan mental ibu muda.

Kematangan Emosi Berperan dalam Tanggung Jawab dan Komunikasi

Meskipun tidak berpengaruh langsung terhadap kecemasan, kematangan emosi tetap menjadi faktor penting bagi kesiapan ibu muda dalam menjalani peran barunya sebagai orang tua. Ibu yang memiliki kematangan emosi tinggi umumnya menunjukkan kemampuan komunikasi yang efektif dan rasa tanggung jawab yang lebih besar.

Dalam penelitian ini, sebagian besar responden memiliki tingkat kematangan emosi pada kategori sedang (47,92%) dan tinggi (31,25%). Hasil angket menunjukkan bahwa ibu dengan kemampuan komunikasi efektif dan tanggung jawab tinggi lebih mampu mengekspresikan perasaan dan mencari dukungan emosional dari suami atau keluarga, sehingga proses persalinan dapat dijalani dengan lebih tenang.

“Bentuk komunikasi yang terbuka dengan pasangan membantu ibu mengungkapkan kecemasan dan menerima dukungan yang dibutuhkan,” ungkap Effy dalam hasil diskusinya.

Sebaliknya, ibu yang merasa kurang mendapat dukungan sosial cenderung mengalami tekanan emosional lebih besar.

Namun, penelitian ini juga menemukan bahwa kematangan emosi tidak selalu berkorelasi dengan menurunnya kecemasan, karena faktor usia dan pengalaman masih memengaruhi cara ibu muda menghadapi tekanan.

Ibu yang berusia 17–21 tahun dinilai masih berada dalam masa transisi psikologis, di mana kemampuan mengatur emosi belum sepenuhnya stabil.

Dukungan Sosial dan Religiusitas Jadi Kunci Ketenangan Ibu

Menariknya, penelitian Effy Wardati juga menyoroti pentingnya dukungan sosial dan spiritual dalam membantu ibu menghadapi persalinan pertama. Dukungan dari suami dan keluarga memberikan rasa aman, menumbuhkan kepercayaan diri, serta menurunkan risiko stres dan kecemasan berlebih.

Selain itu, tingkat religiusitas yang tinggi terbukti memberikan efek positif pada kesiapan mental ibu. Keyakinan spiritual membantu calon ibu menerima proses persalinan sebagai pengalaman alami dan bernilai ibadah, bukan sekadar beban fisik.

“Banyak ibu muda merasa lebih tenang karena menganggap proses persalinan sebagai bagian dari takdir yang harus dijalani dengan sabar dan doa,” tulis Effy dalam kesimpulan risetnya.

Temuan ini diharapkan dapat menjadi acuan bagi tenaga kesehatan, konselor psikologi, dan keluarga dalam memberikan pendampingan mental bagi ibu muda yang akan melahirkan, terutama di usia remaja akhir.

Effy Wardati menegaskan bahwa persiapan mental dan dukungan sosial sama pentingnya dengan kesiapan fisik dalam menghadapi persalinan pertama. Dengan kolaborasi yang baik antara ibu, suami, tenaga medis, dan lingkungan sosial, proses kelahiran dapat berlangsung lebih aman dan menenangkan, baik secara fisik maupun psikologis.

Penulis: Mutafarida