stigma

Stigma terhadap Konseling Psikologis Masih Jadi Tantangan di Kalangan Mahasiswa

psikologi.umsida.ac.id – Di tengah gencarnya kampanye kesadaran akan pentingnya kesehatan mental, nyatanya konseling psikologis masih belum menjadi pilihan utama bagi banyak mahasiswa yang mengalami tekanan emosional. Padahal, fase perkuliahan sering kali dipenuhi dengan beban akademik, konflik hubungan sosial, hingga kecemasan terhadap masa depan. Sayangnya, tidak sedikit mahasiswa yang masih memendam masalah karena takut dicap lemah, berlebihan, atau bahkan tidak stabil secara mental.

Hambatan Sosial Membentuk Stigma Negatif

stigma

Berbagai faktor sosial ikut membentuk stigma yang membuat mahasiswa menjauhi ruang konseling. Ada anggapan bahwa datang ke psikolog hanya dilakukan oleh orang-orang yang memiliki gangguan kejiwaan serius. Selain itu, tekanan untuk tampil tangguh di tengah lingkungan akademik membuat mahasiswa ragu mencari bantuan. Nilai-nilai budaya yang menjunjung ketahanan pribadi semakin memperkuat persepsi bahwa berbagi masalah kepada orang lain adalah tanda ketidakmampuan. Hal ini memunculkan keengganan, bahkan rasa takut, untuk membuka diri terhadap tenaga profesional yang sebenarnya telah disiapkan oleh kampus.

Kurangnya Literasi Kesehatan Mental

Kondisi ini diperparah dengan minimnya literasi tentang kesehatan mental di kalangan mahasiswa. Masih banyak yang belum memahami bahwa stres berlebihan, burnout, atau perasaan cemas yang berkepanjangan juga termasuk bagian dari isu psikologis yang bisa ditangani sejak dini. Pemahaman yang keliru membuat mahasiswa cenderung menormalisasi rasa tertekan, hingga akhirnya mengabaikan gejala yang mengganggu produktivitas maupun kesejahteraan pribadi. Ketika isu kesehatan mental tidak dibicarakan secara terbuka, stigma pun tumbuh subur dalam diam.

Upaya Kampus untuk Mendorong Kesadaran

stigma

Untuk mengatasi hambatan ini, beberapa kampus mulai memperkuat layanan konseling dan program edukasi seputar kesehatan mental. Pelatihan peer counselor, seminar kesehatan jiwa, serta kampanye digital menjadi strategi awal yang mulai dijalankan. Peningkatan akses terhadap layanan konseling, baik secara luring maupun daring, juga menjadi langkah penting untuk menjangkau lebih banyak mahasiswa. Menciptakan lingkungan kampus yang inklusif dan tidak menghakimi menjadi syarat utama agar mahasiswa merasa aman dan bebas dari stigma saat ingin mencari bantuan. Ketika konseling dipahami sebagai bagian dari perawatan diri, maka stigma akan mulai tergeser oleh empati dan pemahaman yang lebih sehat.

 

Penulis: Mutafarida